Saturday, 31 March 2012

“Maaf Nak, Ayah Telat Karena Jalan Macet”



Hari ini tepat pukul 16.45 wita. Kami berkendaraan di jl. Pettarani, Makassar. Sepanjang jalan begitu padat kendaraan, bahkan orang-orang telah melewati jalan yang tidak seharusnya dikarenakan suatu sebab yang akhir-akhir ini marak terjadi di kota kami, dan umumnya di Indonesia. Pembahasan yang “disuarakan” pun sama dengan yang kemarin-kemarin, yaitu kenaikan BBM.
Tapi ada sisi yang menarik untuk kita bahasa di luar baik buruknya (dampak) kenaikan BBM, bukan pula tetang boleh tidaknya (hukum) Demonstrasi, namun sisi lain yang mungkin jarang diperhatikan oleh orang-orang yang melakukan “Reeaksi*”.
Waktu yang tengah menjelang petang ini tentu adalah waktu-waktu yang sudah lumrah sebagai waktu istirahat dari kebanyakan masyarakat yang telah menghabiskan waktunya untuk bekerja dari pagi sampai sore hari, baik pendidik (guru), pegawai kantoran, maupun pekerja-pekerja di bidang lainnya.
Seorang ayah seharusnya telah bersama dengan anak-anaknya untuk menikmati santap sore sambil nge-teh di teras rumah. Atau para sopir angkot yang telah capai putar-putar keliling mencari penumpang. Pastilah ingin membuang kepenatannya hari ini dengan pijatan sang istri tersayang.
Namun, semuanya hanya angan belaka kala itu. Semua hal yang didambakan hari ini terpaksa harus terhapus dari mahligai fikiran karena satu sebab, yaitu kemacetan yang terjadi di sepanjang jalan akibat Reaksi.
Apakah mereka (orang yang ingin beristirahat dengan keluarga) egois karena berfikir ingin enak-enakan dan bersantai ria dengan keluarga mungilnya di rumah? Ataukan mereka adalah orang-orang yang tak punya nurani untuk merasai penderitaan teman-teman buruhnya yang “terancam”? Hmn.. kami rasa tidak, tidak sama sekali. Mereka adalah pengguna bahan bakar juga, mereka pun orang yang setiap harinya harus membeli lauk pauk, sayur mayur, dan berbagai macam makanan  4 sehat 5 sempurna sebagai kebutuhan pokok keluarga.
Duhai kawan… melalui tulisan singkat ini, aku mengajakmu untuk memberikan kepada mereka (para keluarga mungil ini) untuk menikmati waktu sorenya dengan tenang bersama keluarga. Biarkanlah mereka bercanda riang dengan anak dan istrinya di teras rumah yang rindang. Dan biarkan pula mereka dapat dengan lancar menikmati jalan yang telah mereka bayar pajaknya.
Duhai teman, kami meminta sedikit saja rasa ibamu kepada mereka. Sedikit saja sayu pandangmu untuk menikmati bahagia yang akan tercipta atas diri mereka di rumah masing masing. Jangan engkau barkan ada lagi seorang ibu yang cemas karena anaknya tek kunjung pulang dari sekolah karena harus terkena arus macet yang engkau sebabkan. Jangan juga biarkan ada lagi seorang ayah yang telat membelikan kue coklat atau susu krim manis untuk anaknya balitanya. Jangan biarkan ada lagi mayat yang harus tertunda pemakamannya. Jangan pula engkau biarkan seorang wanita hamil merasakan kepayahan di dalam angkot atau pun di dalam ambulans. Dan biarkanlah tak ada lagi anak yang mengerutkan dahi karena orang tuanya telat pulang! Sampai-sampai sang ayah harus membujuk dan berkata, “Maaf nak, Ayah terlambat pulang karena macet. Maafin ayah yah…”

Akhirnya, semua  pun kembali pada kita. Mulai dari diri kita, keluarga kita, tetangga kita, kerabat dan teman-teman kita, serta kolega-kolega kita.

Yah, mereka sudah tak memacetkan jalan lagi!
Bagaimana dengan dirimu???

*Reaksi karena terlahir karena ada “aksi” yaitu isu kenaikan BBM.




Abu Hafshah M.A.
Makassar, di sore hari yang peluh dengan asap kendaraan

0 Tanggapi:

Post a Comment