Hari ini tepat
pukul 16.45 wita. Kami berkendaraan di jl. Pettarani, Makassar. Sepanjang jalan
begitu padat kendaraan, bahkan orang-orang telah melewati jalan yang tidak
seharusnya dikarenakan suatu sebab yang akhir-akhir ini marak terjadi di kota
kami, dan umumnya di Indonesia. Pembahasan yang “disuarakan” pun sama dengan
yang kemarin-kemarin, yaitu kenaikan BBM.
Tapi ada sisi
yang menarik untuk kita bahasa di luar baik buruknya (dampak) kenaikan BBM,
bukan pula tetang boleh tidaknya (hukum) Demonstrasi, namun sisi lain yang
mungkin jarang diperhatikan oleh orang-orang yang melakukan “Reeaksi*”.
Waktu yang tengah
menjelang petang ini tentu adalah waktu-waktu yang sudah lumrah sebagai waktu
istirahat dari kebanyakan masyarakat yang telah menghabiskan waktunya untuk
bekerja dari pagi sampai sore hari, baik pendidik (guru), pegawai kantoran,
maupun pekerja-pekerja di bidang lainnya.
Seorang ayah
seharusnya telah bersama dengan anak-anaknya untuk menikmati santap sore sambil
nge-teh di teras rumah. Atau para sopir angkot yang telah capai putar-putar
keliling mencari penumpang. Pastilah ingin membuang kepenatannya hari ini
dengan pijatan sang istri tersayang.
Namun, semuanya
hanya angan belaka kala itu. Semua hal yang didambakan hari ini terpaksa harus
terhapus dari mahligai fikiran karena satu sebab, yaitu kemacetan yang terjadi
di sepanjang jalan akibat Reaksi.
Apakah mereka
(orang yang ingin beristirahat dengan keluarga) egois karena berfikir ingin
enak-enakan dan bersantai ria dengan keluarga mungilnya di rumah? Ataukan
mereka adalah orang-orang yang tak punya nurani untuk merasai penderitaan
teman-teman buruhnya yang “terancam”? Hmn.. kami rasa tidak, tidak sama sekali.
Mereka adalah pengguna bahan bakar juga, mereka pun orang yang setiap harinya
harus membeli lauk pauk, sayur mayur, dan berbagai macam makanan 4 sehat 5 sempurna sebagai kebutuhan pokok
keluarga.
Duhai kawan… melalui
tulisan singkat ini, aku mengajakmu untuk memberikan kepada mereka (para
keluarga mungil ini) untuk menikmati waktu sorenya dengan tenang bersama
keluarga. Biarkanlah mereka bercanda riang dengan anak dan istrinya di teras
rumah yang rindang. Dan biarkan pula mereka dapat dengan lancar menikmati jalan
yang telah mereka bayar pajaknya.
Duhai teman, kami
meminta sedikit saja rasa ibamu kepada mereka. Sedikit saja sayu pandangmu
untuk menikmati bahagia yang akan tercipta atas diri mereka di rumah masing
masing. Jangan engkau barkan ada lagi seorang ibu yang cemas karena anaknya tek
kunjung pulang dari sekolah karena harus terkena arus macet yang engkau
sebabkan. Jangan juga biarkan ada lagi seorang ayah yang telat membelikan kue
coklat atau susu krim manis untuk anaknya balitanya. Jangan biarkan ada lagi
mayat yang harus tertunda pemakamannya. Jangan pula engkau biarkan seorang
wanita hamil merasakan kepayahan di dalam angkot atau pun di dalam ambulans.
Dan biarkanlah tak ada lagi anak yang mengerutkan dahi karena orang tuanya
telat pulang! Sampai-sampai sang ayah harus membujuk dan berkata, “Maaf nak, Ayah
terlambat pulang karena macet. Maafin ayah yah…”
Akhirnya, semua pun kembali pada kita. Mulai dari diri kita,
keluarga kita, tetangga kita, kerabat dan teman-teman kita, serta kolega-kolega
kita.
Yah, mereka sudah tak memacetkan
jalan lagi!
Bagaimana dengan dirimu???
*Reaksi
karena terlahir karena ada “aksi” yaitu isu kenaikan BBM.
Abu Hafshah M.A.
Makassar, di sore hari
yang peluh dengan asap kendaraan
0 Tanggapi:
Post a Comment