Kisah ini berawal ketika aku diperkenalan seorang wanita yang kemuadian menjadi pendamping hidupku. Tak pernah ku lihat gadis ini sebelumnya. Aku hanya mendapatkan informasi dari teman yang memperkenalkannya padaku.
Di sore itu ta’aruf ku dengannya dimulai. Gugup aku berbicara dengannya ketika bertanya tetang ini dan itu, namun akhirnya aku dapat menguasai situasi. Aku mendengar perihal dirinya dari temanku, tentang semangatnya dalam berjuang, tentang kesungguhannya dalam berdakwah dan tentang teman-temannya yang mendapatkan hidayah lewat perantaranya. Subhanallah, pikir ku.
Aku yang semangat untuk hal ini akhirnya merasa cocok dengannya sehingga mau tidak mau, dengan senang hati maka aku menerimanya sebagai orang yang akan mendampingi langkahku ke depannya. Mengiring setiap usaha-usaha juangku di jalan-Nya. Yah aku sangat bersyukur mendapakan seorang bidadari yang memiliki mujahadah tinggi dalam mengemban risalah perjuangan dakwah ini.
Hari ku berlalu dengan hati yang berbunga dan riang gembira. Seakan telah ku dapati ketenagan yang dijanjikan oleh-Nya bagi insan yang menjalani hidup berumah tangga, membangun mahligai bahagia di atas jalan-jalan cinta para pejuang dakwah. Menjadi satu diantara deretan orang-orang yang menggenapkan separoh diynnya.
Namun, pahit tetaplah pahit. Di usia rumah tangga yang masih berumuran jagung, kami harus mendapatkan cobaan yang begitu berat. Sulit sekali membangun komunikasi dengannya untuk mempererat ukhuwah dalam keluarga. Aku pun merasa diri ditelantarkan olehnya karena kesibukannya mengurusi aktivitasnya di luar rumah.
Beberapa kali aku ajak untuk berbicara namun tak bisa untuk diwujudkan lantaran ada kegiatan di luar rumah yang harus diselesaikannya. Setiba dirumah, hanya rasa lelah yang tersisa yang sekejap saja harus tergantikan tidur yang pulas yang panjang seakan tanpa beban rumah tangga. Aku merasa semakin tak diperhatikan saja, maka ku adukan kejadian ini kepada kakakku yang telah mempertemukanku dengan wanita seperti ini.
Namun entah apa yang kakakku lontarkan kepadanya sehingga ia berlinang air mata. Tak kuasa diri ini menahan rasa bersalah. Tak terbayangkan olehku rasa sedih dan getir yang ia pendam di dada. Ya Allah ada apa dengannya? Ada apa dengan istriku.
Pembaca yang dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Setelah kejadian itu. Maka sudah ada waktu bagiku dan baginya untuk berbicara. Membangun kesepakatan-kesepakatan tentang hidup kami ke depannya, namun itu tak bertahan panjang. Komunikasi kami kebali memburuk.
Ya Allah, ada apa ini? Sosok yang ku idamkan dapat menjadi penyejuk hati dan pelipur yang lara, menjadi pendamping dikala resah melanda, namun nyatanya adalah sumber kegalauan hatiku yang lemah. Namun ku coba untuk memahaminya, memahami setiap langkahnya memahami setiap kesibukan-kesibukannya. Aku tidak menegurnya seperti biasa. Hanya tak pernah ku lupa untuk mengajaknya berdialog lagi seperti sedia yang pernah kulewati sebelumnya dengan sosoknya yang pernah telah berubah.
Setiap kali ku tatap layar handphone ku. Selalu kudapati pesan-pesan singkatnya.”Afwan abi, ummi masih punya kerjaan dakwah yang belum terselesaikan. insyaAlllah kita cari waktu lain untuk bercengrama, yah.” Tak lekang pesan-pesan singkat yang menjamur di hp ku. Tak mampu ia pergi dalam fikiran dan benakku. Ya Allah. Ada apa dengan istriku?
Ketika ia telah datang sementara mentari masih jauh dari tempat beradunya, ku coba untuk mengajaknya bercengkrama, namun jawabnya “Afwan yah abi, ummi serasa capek banget, nanti yah kalau sudah agak enakan badan…” “na’am ummi” jawabku singkat dengan memendam rasa kecewa.
Beberapa kali ku hadiahkan buku untuknya sebagai perekat hubungan yang mulai renggang ini, namun hasilnya sama saja. Seakan hanya sebagai kewajiban yang harus ditunaikan sebagai kepala rumah tangga. Tatapannya hampa.
Pembaca yang budiman.
Jangan anda mencela istriku dengan mengatakan bahwa ia adalah istri yang durhaka atau sebagai istri yang tak tahu diri. Jangan sekali-kali. Sekali-kali jangan mencelanya karena semua yang terjadi adalah salahku. Yah semua semata-mata salahku. Yang tak mampu membimbingnya. Tak mampu berbicara dengan cara yang baik dan sesantun perangai terbaik. Sifat ku yang terlalu posesif, aku yang terlalu agresif. Sehingga terkadang menekan batib istri ku. Membuatnya merasa terbebani dengan keinginan-keinginanku. Padahal dia pun punya keinginan-keinginan. Yah akulah yang salah. Aku yang keliru dengan semua ini.
Maka ku coba untuk bersikap biasa-biasa sajameski terkadang masih sering ku ajak untuk berdiskusi ringan di waktu-waktu senggang. Namun sama saja. Hasilnya Negative. Mungkin sudah mutlak tak ada lagi perbincangan antara kami
Samapilah pada sebuah kejadian, entah setan apa yang merasukiku. Ia marah, begitu marah kepadaku. Entah apa yang telah ku ucapkan kepadanya, kata apa yang telah kulontarka ke telinganya sampai-sampai ia tak mengajakku berbicara. Yah sama sekali tak mengajakku berbicara. Dia begitu murka kepadaku. Dia tak bisa lagi menahan gejolak yang mungkin sudah lama dipendam-pendamnya di dalam sanubarinya. Yang pada akhirnya harus meledak dan menghancurka segalanya yang sudah susah payah kami bangun dengan segenap hati.
Namun apa daya rusuk itu telah patah. Operasi pemukaan tulang rusuk pun harus dilakukan. Pada bulan tiga aku resmi bercerai dengannya.
0 Tanggapi:
Post a Comment