Kader Dakwah Manja
Kader dakwah manja.
Agenda-agenda tarbawi dihadiri hanya sebisa saja.
Banyak alasan ini dan itu. Padahal, di sanalah menjadi bagian sarana utama
“mengisi” diri. Buku-buku referensi dakwah pun enggan untuk disentuh, apalagi
dibaca. Alasannya berat! Ah, manja!Lantas bagaimana mungkin bisa menjalankan
agenda-agenda dakwah secara “benar” sedangkan tujuan, konsep, ide tentang
dakwah itu sendiri belum jelas di hati dan kepala para pengusungnya. Benar,
kenyataannya yang ada hanya bergerak berdasarkan perasaan yang tidak jelas
kemana tujuannya. Para kader dakwah pun akhirnya hanya menjadi kader organisasi
dimana ia berwadah. Bekerja hanya sebatas tuntutan program kerja.
Kader dakwah manja.
Ketika ada hasil keputusan syura’, bukan ditanggapi
dengan “Kami dengarkan dan kami patuhi,” tapi yang ada ialah “Kami dengarkan
dan buat apa kami patuhi”. Seolah ia orang yang paling benar. Manja! Berlagak sok
kritis, tapi tidak argumentatif. Banyak bicara, tapi tidak berisi. Ngomong-ngemeng
tapi tidak ada dasar. Kritis bukan tidak boleh, tapi tetap pada batasnya.
Jangan sampai malah menimbulkan keretakan dalam beramal jama’i. Lagi-lagi hanya
mengandalkan perasaan, ego pribadi selalu jadi benteng pertahanan. Ia
seolah-olah lupa bahwa cara syura’ adalah cara terbaik dalam mengambil
keputusan. Buta hati melihat siapa mereka;yang memutuskan. baik secara
kuantitas, kapasitas keilmuan, maupun kekuatan ruhiyah, keikhlasan, dan
totalitas perjuangannya yang bisa jadi kita sangat jauh dibawah mereka.
Maka seharusnya: Malulah!
Kader dakwah manja.
Ketika diberi amanah, dijalankan semaunya dan
seadanya. Pun, banyak menemukan mereka yang milah milih amanah. Dicari hanya
yang sesuai kepentingan pribadi. Mengambil hanya yang mudah-mudahnya saja. Ada
suatu amanah dakwah, yang seharusnya ia kerjakan, tapi akhirnya menolak dengan
segala alasan yang dibuat. Ketika yang lain mengambilnya dengan gampangnya
mengecapnya dengan prasangka negatif:gila amanah, kejar posisi, ingin populer!
Naudzbillah!
Kader dakwah manja.
Giliran kritik mengkritik: nomer satu. Saat diajak
kongkrit, selalu terbelakang. Setiap syura’ malah telat. Dan tanpa merasa
berdosa hanya bisa banyak berkata “Afwan”. Cek mutabaah amalan yaumiah,
ternyata mirip papan catur. Cek masjid sekitar tempat ia tinggal, tidak pernah
nongol, juga shalat subuh jamaah.
Kader dakwah manja.
Saat ada kemungkaran yang meledak, ia hanya
mengandalkan sifat reaktif. Lah, kemana saja selama ini? Sudahkah kita berusaha
maksimal menggunakan sarana-sarana untuk mencegahnya? Maka yang terlihat
hanyalah ia melakukan penghakiman dimana-mana. Ia lupa bahwa gelap itu tidak
pernah salah. Yang salah adalah tidak adanya cahaya, sehingga gelap itu datang.
Kader dakwah manja.
Menggembar gemborkan amal jama’i. Sedangkan ia sendiri
membatasi kerja-kerjanya hanya sebatas organisasi atau lembaganya. Padahal
kerja-kerja seharusnya ialah kerja yang sifatnya fungsionalitas, tidak berbatas
hanya sama organisasi atau lembaga.
Kader dakwah manja.
Ketika diajak diskusi tentang Islam ataupun tentang
dakwahnya maka ia menjadi orang yang malas. Jelas saja karena kini yang ada di
kepala mungkin kebanyakan mereka hanya soal lawan jenis: ikhwan dan akhwat. Ada
kajian keilmuan Islam juga berat hadir. Wajar kalau diajak bergerak susah…
***
Penulis bisa jadi juga termasuk para kader manja itu.
Sehingga ditulis pun bisa menjadi sarana muhasabah pribadi. Agenda-agenda
dakwah akan berjalan dengan baik manakala setiap dari mereka para pengusungnya
memiliki semangat, keyakinan terhadap dakwahnya, dan kerelaannya menanggung
pengorbanan yang menjadi konsekuensinya. Tidak bisa berjalan jika di isi oleh
kader-kader manja, slenge’an. Ditambah semangat untuk terus menambah
menggali pemahaman.
Jangan sampai kita hanya menjadi penghambat dakwah.
Bahkan lebih kasar hanya menjadi sampah saja yang menyebarkan bau tidak sedap
dalam dakwah. Sebaliknya harus menjadi para penggerak. Yang menyalakan cahaya,
menghilangkan kegelapan.
0 Tanggapi:
Post a Comment