Setiap
Muslim, siapapun dia, tentu berharap masuk surga. Bahkan surga adalah puncak
harapan setiap Muslim. Baik Muslim yang taat ataupun yang suka maksiat, yang
adil ataupun yang fasik, yang lurus ataupun yang menyimpang,
yang tunduk pada syariah ataupun yang menentang, yang pasrah kepada Allah SWT
ataupun yang membantah, yang memperjuangkan syariah ataupun yang menghalangi
tegaknya syariah; semuanya pasti ingin masuk surga; tak ada yang tidak
menginginkan surga. Begitulah yang tampak di permukaan.
Setiap Muslim, siapapun dia, tentu berharap masuk surga. Bahkan surga adalah
puncak harapan setiap Muslim. Baik Muslim yang taat ataupun yang suka maksiat,
yang adil ataupun yang fasik, yang lurus ataupun yang menyimpang, yang tunduk
pada syariah ataupun yang menentang, yang pasrah kepada Allah SWT ataupun yang
membantah, yang memperjuangkan syariah ataupun yang menghalangi tegaknya
syariah; semuanya pasti ingin masuk surga; tak ada yang tidak menginginkan
surga. Begitulah yang tampak di permukaan.Namun, apa yang dinyatakan oleh
baginda Rasulullah SAW ternyata berbeda dengan realitas atau klaim di atas.
Pasalnya, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Setiap orang dari umatku akan masuk
surga, kecuali yang enggan.” Para sahabat bertanya heran, “Siapa yang enggan
masuk surga, wahai Rasulullah?” Kata beliau, “Mereka yang menaati aku akan
masuk surga, sedangkan yang menentang aku berarti mereka enggan masuk surga.”
(HR al-Bukhari, Ahmad dan an-Nasa’i).
Karena itu, bagi seorang Muslim yang menaati
Rasulullah SAW, surga tentu sedang menanti dirinya untuk dimasuki. Hanya saja,
surga memiliki sejumlah pintu, dan pintu-pintu surga (bab al-jannah) memiliki
kuncinya masing-masing (miftah al-jannah). Lalu apa kunci-kunci surga itu?
Ada banyak kunci surga sebagaimana yang dinyatakan
langsung oleh baginda Rasulullah SAW dalam beberapa haditsnya. Tiga di
antaranya adalah: ucapan La Ilaha illaLlah (kalimat at-tahlil); menegakkan
shalat; mencintai orang miskin (hubb al-masakin).
Pertama: Rasulullah SAW bersabda, “Miftah al-jannah La ilaha illLlah (Kunci
surga adalah Tiada Tuhan kecuali Allah).” (HR al-Bukhari). Di sini tentu yang
dimaksud bukanlah sekadar mengucapkan kalimat tahlil di atas, tetapi
memaknainya dengan cara merefleksikannya dalam kehidupan. Konsekuensi dari
kalimat tahlil adalah: tunduk dan patuh hanya kepada Allah serta tidak membuat
aturan sendiri selain aturan yang telah Allah tetapkan. Saat seorang Muslim
enggan tunduk dan patuh kepada Allah SWT dengan cara tunduk dan patuh pada seluruh
syariah-Nya, pada hakikatnya ia mengingkari kalimat tahlil di atas. Apalagi
saat seorang Muslim malah membuat aturan sendiri yang berbeda bahkan
bertentangan dengan aturan Allah SWT, yakni aturan yang menghalalkan yang haram
dan mengharamkan yang halal. Pada saat demikian, dia bukan saja mengingkari
kalimat tahlil di atas, tetapi bahkan telah menyejajarkan dirinya dengan-malah
menempatkan dirinya di atas-Allah SWT (Lihat: QS at-Taubah [9]: 31). Padahal
Allah SWT telah menegaskan (yang artinya): Sesungguhnya hak membuat hukum itu
(yakni menentukan halal-haram, pen.) adalah milik Allah semata(TQS al-An’am
[6]: 57).
Kedua: Rasulullah SAW bersabda, “Miftah al-jannah
ash-shalat (Kunci surga adalah shalat).”(HR at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Baihaqi).
Menegakkan shalat adalah ibadah pokok dan utama sekaligus wujud penghambaan
seorang Muslim kepada Allah SWT. Tanpa menegakkan shalat, klaim seorang Muslim
dalam kalimat La ilaha illalLah tentu layak dipertanyakan. Yang pasti, tanpa
shalat, seorang Muslim berarti telah kehilangan salah satu kunci surga.
Ketiga: Rasulullah SAW bersabda,
“Miftah al-jannah hub al-masakin (Kunci surga adalah mencintai orang-orang
miskin).” (Ats-Tsa’labi, Tafsir ats-Tsa’labi, IV/184).
Refleksi kalimat tahlil dalam kehidupan dan aktivitas shalat adalah cerminan
dari hubungan manusia dengan Allah SWT (habl[un] minalLah). Adapun mencintai
orang-orang miscerminan dari hubungan manusia dengan manusia lain
(habl[un] min an-nas).
Sebagian ulama menambahkan, bahwa di antara kunci surga
adalah meninggalkan hawa nafsu. Imam al-Qurthubi, misalnya, mengutip Sahal,
menyatakan “Miftah al-jannah tark al-hawa’ (Kunci surga adalah meninggalkan
hawa nafsu).” (Al-Qurthubi, IX/208). Hawa nafsu adalah segala ucapan atau
tindakan yang bertentangan dengan wahyu. Artinya, hawa nafsu adalah lawan dari
wahyu. Ini sesuai dengan firman Allah SWT (yang artinya): Tidaklah yang
diucapkan Rasul itu berasal dari hawa nafsunya. Ucapan Rasul itu tidak lain
adalah wahyu yang diwahyukan Allah kepada dirinya (TQS an-Najm [53]: 3-4).
Jika ditelaah, meninggalkan hawa
nafsu-tentu seraya mengikuti wahyu-hanyalah konsekuensi belaka dari kalimat
tahlil di atas.
Itulah di antara kunci-kunci surga
yang diisyaratkan oleh baginda Rasulullah SAW.
Sebaliknya, baginda Rasullah SAW pun menginformasikan kepada kita sejumlah
penghalang yang bisa menghalangi kita masuk surga. Beliau, misalnya, bersabda,
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam kalbunya terdapat sedikit saja
sikap sombong (HR Muslim).”
Beliau juga bersabda, “Tidak akan
masuk surga orang yang memutus tali silaturahmi (HR al-Bukhari).”
0 Tanggapi:
Post a Comment